Dua minggu yang lalu, saya ingin berkunjung ke tempat teman. Dalam perjalanan (karena memang saya harus berjalan kaki kurang lebih 8-10 km) saya singgah di sebuah warung yang kecil dan sederhana. Matahari yang terik membuat kulit saya terasa terbakar, kulit saya semakin hitam akibat dinginnya angin yang berhembus. Maklumlah daerah ini (Sipultak) terkenal sangat dingin. Setiap pagi embun yang sangat tebal menyelimuti daerah ini, sang mentari berjalan seolah lambat sekali akibatnya siang terasa sangat lama. Kerongkonganku mulai kering, seolah kelenjar ludah tidak lagi menghasilkan air liur.
Kurebahkan badanku pada dinding warung yang terbuat dari kayu lapuk. Kuluapkan perasaan hatiku kepada sang pemilik warung untuk meminta segelas air putih yang sejuk. Suara gelas yang beradu dengan mulut teko memecah keheningan siang itu, yah... sangat hening karena penduduk daerah itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang. Sambil memberikan gelas yang berisikan air, ia menawarkan untuk makan siang. Aku terima tawaran itu dengan hati yang lega sebab air sejuk itu seolah membangkitkan kelenjar lidahku yang sudah beku. Derasnya aliran air itu seolah memadatkan kembali tulang-tulangku yang mulai keropos.
Tak lama kemudian, sebauh piring berisi nasi dan lauk pauk disodorkan kepadaku. Ku terima dan langsung ku santap. Ketika aku asik mempermainkan nasi dengan lauk, seorang ibu yang sudah tua renta berjalan menghampiriku. Ia tersenyum kepadaku, ku balas dengan senyum sambil penuh pertanyaan "apa ibu ini mengenalku?" ibu itu menatapku dengan penuh rasa iba, ia meminta sedikit dari apa yang ku makan. Kembali aku meminta kepada sipemilik warung untuk memberikan makanan ibu tersebut "biarlah aku yang traktir" sahut ku.
selesai makan, ibu itu mengucapkan terimakasih kepadaku. Ia memberkati aku dengan berkata: "Tuhan besertamu nak!". Namun tidak lama kemudian ibu itu kembali berkata kepadaku: "pulanglah kau, nanti bapakmu marah, dia sekarang menunggu di ladang". Saat itu aku menyadari bahwa ibu tersebut sebenarnya memiliki gangguan jiwa.
Begitu ibu itu beranjak, sang pemilik warung membuka sebuah cerita tentang ibu tersebut. Dahulu ibu itu seorang guru yang sangat baik, ia adalah guru agama saya, sewaktu saya masih duduk di bangku SMP. Namun semuanya berubah ketika ia sudah menikah. Suaminya, sering memukulnya dengan balok atau apapun yang ada di tangannya. Semua itu menjadi keheranan penduduk kampung, sebab memar biru pada wajah ataupun badan bukanlah hal yang langka lagi, tetapi menjadi hal yang biasa. Sebenarnya kami sangat mengasihi ibu itu, bahkan kami terus menyarankan kepada ibu tersebut untuk segera pergi meninggalkan suaminya, namun jawabannya hanya sederhana "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak dapat diceraikan manusia" Ia terus bertahan dalam pernikahannya. Sampai pada akhirnya, ia sudah tidak kuat lagi, mentalnya semakin menurun, bahkan yang paling parah, ia memanggil suaminya dengan sebutan "ayah". Sepertinya kenangannya waktu kecil kembali merajai alam pikirnya, yah.... ia sering dipukuli ayahnya sewaktu kecil. Anak-anaknya sudah berhasil, namun satupun tidak ada yang peduli dengan dia, bahkan untuk pulang ke kampung pun sekali setahun tidak pernah. Sudah limabelas tahun ini anak-anaknya tidak pernah pulang ke kampung ini. Yah... begitulah kehidupannya, jalan raya ini menjadi rumahnya.
Itulah akhir ceritanya. Segera aku membayar makanan dan minuman yang ku pesan, lalu segera berlalu. Dalam perjalanan, beribu pertanyaan hinggap di otakku. Mungkinkah ketika Allah mempersatukan mereka, lalu Allah melihat penderitaan kepada anak yang dikasihiNya, Allah tidak menyetujui mereka untuk bercerai? Atau mungkin hanya manusia yang salah memahami perkataan Allah "yang telah dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia".
Label:
Keakuran