KETAATAN PENUH

07.12 / /

Tanggal 23 Desember 2008 yang lalu adalah hari yang sangat saya tunggu-tunggu, karena pada waktu itu saya harus pulang ke rumah orangtua untuk libur dari pekerjaan. Dalam perjalanan pulang, kekesalan merambat kedalam hati saya, sebab pesawat yang saya tumpangi mengalami penundaan penerbangan, memang tidak lama, hanya beberapa jam dari jadwal yang telah ditentukan.


Begitu mendengar pemberitahuan bahwa penumpang pesawat dengan nomor penerbangan yang sama dengan saya dipersilahkan untuk naik ke dalam pesawat, hati berubah menjadi sebuah kelegaan. Teman sebangku saya adalah seorang Chinese, kami berkenalan dan saling berbagi cerita tentang kehidupan diperantauan. Ia kelahiran bandung yang merantau ke Medan untuk menjalankan perusahaan milik keluarganya, sedangkan saya kelahiran Medan namun besar di Tangerang dan ditempatkan di Tarutung.


Ia bercerita bahwa liburannya hanya sebentar. Tanggal 27 Desember ia harus segera kembali ke Medan untuk bekerja. Saya bertanya “loh!... kenapa seperti itu? Bukankan itu perusahaan milik keluargamu?” Lalu ia menjawab, “ia.. perusahaan itu milik ayah saya, namun bukan berarti aturan main diperusahaan dapat saya langgar dengan seenaknya, toh sangsi juga berlaku bagi siapa saja!”


Jawabannya itu mengingatkan saya kepada konsep anugerah Allah dalam iman ke-Kristenan. Terkadang kita berpikiran sangat dangkal, kita memahami dengan baik tentang Allah yang baik, Allah yang pemurah dan Allah yang pemaaf, konsep itu begitu memagari paham kita, sehingga kita menjadi lupa bahwa Allah yang baik itu adalah juga Allah yang pemarah, Allah yang pemurah itu adalah juga Allah yang membalaskan, dan Allah yang pemaaf itu adalah juga Allah yang cemburu. Karena kelupaan kita akan hal itu, anugerah Allah menjadi murahan. Seolah-olah Allah dapat kita tipu, ketika kita berbuat salah, maka kita dengan tenang dan tanpa rasa bersalah datang kehadapan Allah serta meminta maaf, lalu Allah memaafkan kesalahan kita dan kita pulang dengan senyum menyindir di bibir yang seolah-olah berkata “hmmm… ternyata Allah dapat aku bodoh-bodohi!”.


Setiap orang percaya telah diangkat oleh Allah menjadi anakNya yang terkasih. Kita bukan lagi hamba, melainkan anak. Namun sebagai seorang anak, bukan berarti kita dapat berbuat sesuka hati. Allah memiliki aturan main! Hal ini sama dengan konsep tanah warisan. Tanah warisan akan berlaku ketika yang mewariskan telah memberikan surat wasiat kemudian ia meninggal. Rentang waktu antara ketika kita diberitahu tentang tanah warisan sampai kepada kita diberi surat wasiat, adalah rentang waktu yang sangat riskan. Keloyalitasan dan kesetiaan kita diuji dalam rentang waktu tersebut, bisa saya dalam surat wasiat, tanah itu tidak menjadi milik kita walaupun telah dijanjikan, karena perilaku kita dalam rentang waktu tersebut yang tidak disukai oleh penulis surat wasiat.


Dengan demikian, menjadi seorang anak bukan untuk manja. Menjadi seorang anak bukan berarti aturan Bapak tidak berlaku bagi kita. Tetapi jauh lebih dari itu, tanggungjawab seorang anak adalah membuat ayahnya bangga, dengan apa? Menjalankan dengan baik aturan yang diberikan sang bapa, melakukan apa yang bapa inginkan, dan satu lagim peduli kepada Bapa, sama artinya dengan peduli terhadap sesama.

Label: